Sabtu, 10 Juli 2010

CONTOH RPP

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

NAMA SEKOLAH : SD Negeri 009 Tembilahan Hulu

MATA PELAJARAN : Pendidikan Agama Islam

MATERI POKOK : Berbicara

KELAS/SEMESTER : IV / I

TAHUN AJARAN : 2009 / 2010

I. Standar Kompetensi

Menyimak, bercakap, membaca dan menulis dalam Bahasa Arab dengan struktur kalimat dasar Bahas Arab.

II. KOMPETENSI DASAR

Membaca struktur dalam Bahasa Arab

III. INDIKATOR

Siswa dapat membaca dan mengucapkan dalam kalimat atau kata Bahasa Arab dengan tema ruangan kelas

IV. ALOKASI WAKTU : 2 X 45 menit

V. TUJUAN PEMBELAJARAN

Siswa dapat membaca tulisan dalam Bahasa Arab dengan baik

VI. METODE : Ceramah dan mendengar, mengucapkan

KEGIATAN PEMBELAJARAN

1. KEGIATAN AWAL

- Guru memberi salam

- Guru mengabsen siswa yang tidak hadir

- Sebelum pelajaran dimulai guru memberikan apersepsi kepada siswa

2. KEGIATAN INTI

- Guru mencatatkan nama benda-benda yang ada di dalam kelas

- Guru mengucapkan nama benda-benda yang ada di dalam kelas

- Guru memerintahkan kepada siswa untuk ikut mengucapkan nama benda-benda yang ada di dalam kelas

- Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya

3. KEGIATAN AKHIR

- Guru memberikan kesimpulan

- Guru memberikan evaluasi

- Penutup

VII. SUMBER : Buku teks pelajaran Bahasa Arab kelas V

VIII. PENILAIAN :

- Jenis Tagihan : Tulisan

- Bentuk Tagihan : Essay

Tembilahan, 25 Juni 2009

MENGETAHUI

KEPALA SEKOLAH GURU BIDANG STUDI

ODE S.Pd FIRA LAROSA

makalah Fikih

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Makna gadai menurut istilah ahli fiqh adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”, dari pengertian ini dapat diambil sebuah penalaran bahwa gadai merupakan jaminan atas hutang seseorang.

Para ulama bersepakat, hukum gadai secara umum diperbolehkan, Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai / jaminan, sehingga apa saja yang tidak boleh diperjualbelikan maka tidak boleh digadaikan. Hal ini dikarenakan maksud menggadaikan sesuatu adalah untuk jaminan apabila tidak dapat melunasi hutangnya, sehingga apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasi hutangnya, maka barang tersebut bisa dijual untuk melunasi hutang tersebut, dan ini akan terwujud dengan barang yang bisa diperjualbelikan.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah :

    1. apa arti, landasan dan rukun gadai ?
    2. apa saja syarat-syarat rahn ?
    3. bagaimana hukum rahn dan dampak perbedaan hukumnya ?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun yang menjadi tujuan penulisan pada makalah ini adalah untuk mengetahui :

    1. apa arti, landasan dan rukun gadai
    2. apa saja syarat-syarat rahn
    3. bagaimana hukum rahn dan dampak perbedaan hukumnya

BAB II

GADAI (RAHN)

A. ARTI, LANDASAN DAN RUKUN GADAI

1. Arti Ar-Rahn (Gadai)

Secara etimolgi, Rahn berarti (tetap dan lama), yakni tetap atau berarti (pengekangan dan keharusan).[1]

Secara terminologi syara’, rahn berarti : Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.

Ulama fikih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :

    1. Menurut ulama Syafi’iyah

Rahn adalah menjadikan sesuatu baenda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayaran ketika berhalangan dalam membayar utang.

    1. Menurut ulama Hanabilah

Rahn adalah harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayaran harta (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.

Meskipun keduanya berbeda pendapat tetapi secara garis besar yang dimaksud dengan gadai adalah : “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”.[2]

2. Sifat Ar-Rahn

Secara umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu.[3] Yang diberikan oleh murtahin kepada rahin adalah utang bukan ditukar barang, ini berarti yang namanya gadai sifatnya menukar barang dengan utang bukan barang dengan barang.

Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad. Gadai bersiafat sama dengan hibah, pinjam meminjam, titipan dan qirad, semua akadnya termasuk tabarru yang akan sah jika telah memegang barang yang akan digadaikan.

3. Landasan Rahn

Rahn disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah :

a. Al-Qur’an

* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ

Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[4] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S Al-Baqarah : 283)[5]

b. Sunnah

Dari aisyah r.a bahwa “Rasulullah Saw pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi” (HR Bukhari dan Muslim).

4. Hukum Rahn

Para ulama bersepakat, hukum gadai secara umum diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan. Ini didasari beberapa dalil, di antaranya:

a. Dalil dari al-Qur’an

ó9( ×p|Êqç7ø)¨BÖ`»ydÌsù$Y6Ï?%x. öNs9ur #rßÉfs?xÿy4n?tãOçFZä.bÎ)ur

” Dan jika kamu dalam perjalanan (dan sedang bertransaksi tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapati penulis, maka hendaklah ada barang gadai (tanggungan) yang dipegang”. (QS. Al-Baqarah : 283)

b. Dalil dari Sunnah

Dari aisyah r.a bahwa “Rasulullah Saw pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi” (HR Bukhari dan Muslim).

5. Rukun Rahn dan Unsur-unsurnya

Rahn memiliki empat unsur, yaitu rahin (orang yang memberikan jaminan), al-murtahin (orang yang menerima jaminan), al-marhun (jaminan) dan al-marhu nih (utang).

Menurut ulama Hanafiyah rukun rahn adalah ijab dan qabul dari rahin dan murtahin, sebagaimana pada akad yang lain, yang membedakan dengan akad yang lain adalah rahn tidak sempurna sebelum adanya penyerahan barang tersebut.

Sedangkan menurut ulama selain Hanafiyah rukun rahn adalah shighat, aqid (orang yang akad), marhun, dan marhun bih (benda janminan).

B. SYARAT-SYARAT RAHN

Dalam Rahn disyaratkan beberapa syarat berikut :

1. Persyaratan Aqid

Kedua orang yang akan melakukan akad harus memenuhi beberapa kriteria, ulama fikih berbeda pendapat tentang kriteri tersebut. Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa orang yang diperbolehkan untuk melakukan Rahn adalah orang yang telah memenuhi syarat sebagaimana orang melakukan jual beli.[6] Tetapi tidak mensyaratkan harus baligh, dengan demikian anak kecil yang sudah mumayyiz tetapi belum baligh dan orang bodoh yang mendaptkan ijin dari walinya maka boleh melakukan rahn.

Menurut ulama selain Hanafiyah, bahwa syarat orang yang melakukan rahn sama dengan syarat oarng yang akan jual beli jadi tidak boleh orang yang mabuk, gila, bodoh ataupun anak kecil yang belum baligh melakukan rahn.

2. Syarat Shighat

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini sama dengan jual beli jika jual beli dikaitkan dengan hal-hal lain maka akan batal jual beli tersebut.

Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, syarat dalam rahn ada yang sahih dan yang rusak. Uraiannya adalah sebagai berikut :

a. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada tiga :

- syarat sahih seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita

- mensyaratkan sesuatu yang tidak bermafaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya, diberi makanan tertentu, syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah.

- Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.

b. Ulama malikiyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi dua, yaitu rahn sahih dan rahn fasid. Rahn fasid adalah rahn yang di dalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada di bawah tanggung jawab rahin.

c. ulama Hanabilah berpendapat seperti pendapat ulama Malikiyah di atas, yakni rahn terbagi dua, sahih dan fasid. Rahn sahih adalah rahn yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan.

3. Syarat Marhun Bih (utang)

Marhun bih adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama Hanafiyah memberiakn beberapa syarat, yaitu :

a. Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan dan tidak diwakilkan, contoh jika yang digadai adalah motor maka yang diberikan haruslah STNK motor tidak boleh diwakilkan dengan sertifikat tanah.

b. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan. Jika marhun bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah, sebab menyalahi maksud dan tujuan dari disyariatkannya rahn.

c. Hak atas marhun bih harus jelas. Dengan demikian dua marhun bih tanpa dijelaskan utang mana menjadi rahn.

Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat bagi marhun bih :

1. berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan

2. utang harus lazim pada saat akad

3. utang harus jelas dan diketahui oleh rahn dan murtahin

4. Syarat Marhun (Borg)

Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahn. Para ulam fikih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual-beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.

Ulama Hanafiyah mensyaratka marhun, antara lain :

a. dapat diperjualbelikan

b. bermanfaat

c. jelas

d. milik rahin

e. bisa diserahkan

f. tidak bersatu dengan harta lain

g. dipegang (dikuasai) oleh rahin

h. harta yang tetap atau dapat dipindahkan

C. HUKUM RAHN DAN DAMPAKNYA

Hukum rahn secara umum terbagi kedalam dua bagian yaitu sahih dan ghairu sahih (fasid). Rahn sahih adalah rahn yang memenuhi persyaratan di atas, sedang yang fasid adalah yang tidak memenuhi persyaratan di atas.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahn ghair sahih terbagi menjadi dua, yaitu :

- Batal, tidak memenuhi persyaratan pada asal akad, seperti aqid tidak ahli.

- Fasid, tidak terpenuhinya persyaratan pada sifat akad, seperti borg berkaitan dengan barang lain.

  1. Hukum Rahn Sahih/Rahn Lazim

Kelaziman rahn bergantung pada rahin, bukan murtahin. Rahn tidak memiliki kekuasaan untuk membatalkannya, sedangkan murtahin berhak membatalkannya kapan saja dia mau.

Selain itu, menurut pandangan jumhur ulama, rahn baru dipandang sah jika borg sudah dipegang oleh murtahin.

Sedangkan menurut ulama Malikiyah cukup dengan adanya ijab dan qabul. Kemudian meminta kepada rahin untuk menyerahkan borg.

  1. Dampak Rahn Sahih

Jika akad sudah sempurna, yaitu rahin sudah menyerahkan borg kepada murtahin, terjadilah beberapa hukum, berikut ini :

    1. Adanya utang untuk rahin

Utang yang dimaksud adalah utang yang berkaitan dengan barang gadai saja bukan utang yang lain tanpa ada hubungannya dengan barang yang digadaikan.

    1. Hak menguasai borg

Hak menguasai ini dimaksudkan agar rahin mendapat ketenangan jika murtahin tidak sanggup membayar utang tersebut. Menurut ulama hanfiyah, keberlangsungan akad pada rahn bergantung pada borg yang dipegang murtahin, sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, penguasaan boorg semata-mata penolong untuk membayar utang rahin.

Murtahin berhak menagih utang rahin sambil menguasai borg. Begitu juga kepada rahin berhak mempertanyakan dan berhak menghadirkan borg jika ia akan membayar utangnya.

    1. Menjaga barang gadaian

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa murtahin harus menjaga borg yang sebagaimana menjaga barang milik sendiri. Begitu juga keluarganya harus menjaganya, jika pihak murtahin merusakan atau menghilangkan maka murtahin wajib memperbaiki atau menggantinya.

    1. Pembiayaan atas borg

Ulama Fiqih berpendapat bahwa rahn berkewajiban membiayai born. Namun demikian diantara mereka berbeda pendapat tentang jenis pembiayaannya.

1. Ulama Hanafiyah berpendapat behwa pembiayaan dibagi antara rahin dan murtahin, yakni rahin memberikan pembiayaan dan murtahin berkwajiban menjaganya.

2. Ulama Hanabilah, syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa rahin bertanggung jawab dengan segala pembiayaan dan tanggung jawab penjagagaannya.

e. Pemanfaatan gadai

1. Pemanfaatan rahin atas borg

Diantara para ahli fikih ada dua pendapat, jumhur ulama selain Syafi’iyah melarang rahin untuk memanfaatkan borg, sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak memadaratkan murtahin.

2. Pemanfaatan murtahin atas borg

Jumhur ulama selain Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg, kecuali jika rahin tidak mau membiayai borg. Dalam hal ini murtahin dibolehkan mengambil manfaat sekedar untuk mengganti ongkos pembiayaan.

Ualam Hanabilah berpendapat bahwa murtahin boleh memanfaatkan borg jika berupa hewan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar hanya pengganti pembiayaan.

    1. Tasharf (mengusahakan) rahn

1. Tasharuf Rahin

    1. rahin dibolehkan mengusahakan borg, seperti meminjamkan, menjual, hibah, sedekah dan sebagainya sebelum diserahkan kepada murtahin
    2. rahin tidak boleh mengusahakan borg setelah diserahkan kepada murtahin, kecuali atas persetujuan oleh murtahin

2. Tasharuf Murtahin

murtahin tidak boleh untuk mengusahakan borg tanpa seijin murtahin, karena perbuatan ini bisa diartikan bahwa ia telah mengusahakan bukan barang miliknya.

    1. Tanggung jawab atas borg

1. Sifat tanggung jawab

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa borg dapat dipandang sebagai amanat jika memandang zat harta yang digadaikan dan dapat dikatakan tanggungan jika dilihat sebagai harta yang harus dibayarkan utangnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa borg adalah amanat jadi dia tidak berkewajiban mengganti jika rusak kecuali atas tindakannya sendiri.

2. Cara tanggung jawab murtahin

UlamaHanafiyah berpendapat bahwa borg dapat menanggung utang, jika nilainya lebih kecil maka kekurangan dibayar oleh rahin dan jika nilainya terlalu banyak, maka kelebihannya harus dikembalikan kepada rahin.

    1. Menjual rahn

Seandainya pemegang barang terlanjur memanfaatkannya, serta menjual atau menyewakannya tanpa seizin pemiliknya, maka menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali penjualan dan sewa-menyewa tersebut batal dan tidak sah. Adapun menurut Imam Hanafi dan Imam Malik, penjualan dan sewa menyewa tersebut hukumnya tergantung kepada pemilik barang, apabila ketika pemilik barang mengetahui kemudian menyetujui, maka sah penjualan atau sewa menyewa itu, apabila tidak maka batal dan tidak sah.[7]

Pendapat terakhir inilah (Imam Hanafi dan Imam Malik) yang kuat dengan dasar sebuah hadist yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya seorang sahabat bernama Urwah al-Bariqi Radhiyallahu’anhu pernah dititipi Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam satu dinar untuk membeli satu ekor kambing qurban, lalu Urwah pergi ke pasar hewan membeli dua ekor kambing seharga satu dinar, kemudian sebelum kembali kepada Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam ia menjual satu ekor kambing seharga satu dinar, lalu datang kepada beliau membawa satu ekor kambing dan uang satu dinar, dan tatkala Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahuinya, beliau tidak mengingkarinya, bahkan Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam menyetujui dan mendo’akan keberkahan buat Urwah. Hadist ini menunjukkan apabila seorang menjual atau membeli sesuatu tanpa persetujuan pemiliknya yang sah, kemudian pemiliknya yang sah ketika tahu lalu menyetujuinya, maka sah transaksi tersebut, dan apabila tidak menyetujui maka batal dan tidak sah.

    1. Penyerahan borg

Jumhur ulama sepakat kalau borg dikembalikan kepada rahin, maka ia telah melunasi utangnya. Yakni rahin terlebih dahulu membayar utangnya kemudian menyerahkan barang.

  1. Hukum-hukum Rahn Fasid

Jumhur ulama fikih sepakat bahwa yang dikategorikan tidak sah dan menyebabkan akad batal atau rusak, yakni tidak ada dampak hukum pada borg.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Makna gadai menurut istilah ahli fiqh adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”, dari pengertian ini dapat diambil sebuah penalaran bahwa gadai merupakan jaminan atas hutang seseorang.

Para ulama bersepakat, hukum gadai secara umum diperbolehkan, Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai / jaminan, sehingga apa saja yang tidak boleh diperjualbelikan maka tidak boleh digadaikan. Hal ini dikarenakan maksud menggadaikan sesuatu adalah untuk jaminan apabila tidak dapat melunasi hutangnya, sehingga apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasi hutangnya, maka barang tersebut bisa dijual untuk melunasi hutang tersebut, dan ini akan terwujud dengan barang yang bisa diperjualbelikan.

Pada dasarnya, yang berhak memegang barang gadai adalah yang meminjami sesuatu kepada penggadai barang, karena barang gadai tersebut adalah sebagai jaminan hutang yang ia berikan kepada si peminjam. Dan ini (pemegangan barang) dilakukan oleh orang yang meminjami sesuatu kepada penggadai, apabila kedua pihak sama-sama rela dan merasa tsiqah/percaya satu sama lain. Akan tetapi, seandainya salah satu dari mereka merasa tidak aman dan tidak rela barangnya dipegang oleh orang yang meminjami sesuatu tadi, maka barang tersebut dipegang oleh pihak ketiga yang telah disepakati oleh kedua bealh pihak (peminjam yang menggadaikan barangnya dengan orang yang meminjami sesuatu tersebut).

B. SARAN

Dengan mempelajari gadai semoga dapat memperdalam tingkat keilmuan dan pengetahuan. Gadai merupakan salah satu cara Allah untuk saling membantu bukan dalam permasalahan jahat tetapi dalam masalah kebaikan.

DAFTAR PUSTAKA

- Al-Kasani, Al-Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, juz VI,

- Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Jakarta: Proyek pengadaan al-Qur’an dan terjemahnya, 1989,

- http://abusalman1430.wordpress.com/2010/02/12/hukum-gadai-dalam-islam/, diakses tanggal 30 April 2010

- Hukum syariah, http://assunnah.or.id, diakses tanggal 28 April 2010

- Qudamah, Ibnu, Mathba’ah Al-Imam, Mesir, t.pnrbit, T.th Syafei’i, Rachmat, Fikih Muamalah, Bandung, Pustaka Setia,2001





[1]Rachmat Syafei’i, Fikih Muamalah, Bandung, Pustaka Setia,2001, hal. 159

[2]Hukum syariah, http://assunnah.or.id, diakses tanggal 28 April 2010

[3]Ibnu Qudamah, Mathba’ah Al-Imam, Mesir, t.pnrbit, T.th, hal. 121

[4]barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.

[5]Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Jakarta: Proyek pengadaan al-Qur’an dan terjemahnya, 1989, hal. 237

[6]Al-Kasani, Al-Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, juz VI, hal. 135